Jangan menjual mimpi menjadi pengusaha kepada orang yang jalan hidupnya bukan jadi pengusaha. Siapa tahu ada yang lebih cocok jadi ulama, guru, akademisi, dll.
Kan sayang kalau semuanya jadi pengusaha. Mungkin negeri ini butuh lebih banyak ulama yang bersahaja ketimbang pengusaha yang makmur sentosa
.Kalau memang passionnya berwirausaha, ingatlah jadi pengusaha itu bukan sekedar gengsi atau status. Nggak penting itu. Jangan memilih jalan ini karena ingin dipandang tinggi atau silau lihat orang lain sukses jadi pengusaha.
Jadi pengusaha itu harus jelas visinya karena ini jalan yang nggak gampang bro/sist! Harus siapin mental dulu. Kalau mentalnya masih mental karyawan, mending jadi karyawan saja.
Mental karyawan itu menyukai kepastian. Pasti gajian tanggal sekian. Hidup itu teratur. Ada jam kerja yang jelas. Pulang dari kerja, mungkin sudah asyik sama keluarga. Nggak perlu mikir yang ekstrem, sesuai dengan jobdesc saja. Nggak harus mikir sales, HRD, keuangan dalam hari yang sama.
Mental pengusaha sebaliknya. Mau dapat duit ya harus kerja dulu. Kadang duitnya baru datang beberapa bulan kemudian setelah klien bayar. Sebelum itu, ya mesti hemat, bahkan prihatin.
Nggak mikirin gaji sendiri, tapi mikirin menggaji banyak orang. Kadang sudah kerja banting tulang, duit malah melayang. Pengusaha biasanya pernah merasakan gak enaknya dikemplang.
Jam kerja bukan lagi 8 jam sehari, bisa belasan sampai puluhan jika lagi ekstrem. Freedom of time itu jualannya para motivator bisnis di zaman saya memulai bisnis dulu.
Praktisi bisnis tahu beratnya jam kerja saat memulai bisnis, apalagi mempertahankan bisnis disaat pandemi seperti ini..
Bill Bates ketika membangun microsoft, tidurnya konon cuman satu jam sehari. Dan pulang nyampe rumah, kita mungkin nggak langsung asyik sama keluarga, tapi tetep otaknya nyantol dengan kerjaan.
Harus siap dengan apa yang saya sebut 'acrobatic management'. Terkadang jualan online, ngitung gaji, ngatur operasional di jam yang sama.
"Kaya'nya jadi pengusaha hidupnya enak ya", banyak yang bilang begitu.
Ya itu kalau usahanya sudah lancar. Kalau pas awal mulai dengan modal kepepet, ya lain cerita. Bisa beberapa tahun lo sampai usaha lancar. Bahkan saya pernah lihat ada pengusaha yang sampai tua umurnya, masih harus kerja keras karena usahanya belum lancar.
"Wah ane takut ah jadi pengusaha. Mending cari aman saja"
Kalau baru baca cuplikan tentang horornya dunia usaha langsung mundur teratur, mungkin belum siap jadi pengusaha. Seorang pengusaha bukannya tidak punya rasa takut, tapi mampu mengendalikan rasa takutnya sehingga actionnya bukan di-drive oleh rasa takut, melainkan karena suatu harapan.
Salah satu yang saya lihat dari pengusaha yang berhasil adalah kemampuan "pain tolerance".
Meski sakit, sakitnya bisa ditahan dan tidak menjadikan dia takut akan rasa sakit melainkan menjadikan dia makin kebal.
Misalnya, salah rekruit orang sehingga ditipu, kaya kejadian saya kemarin yang baru kena tipu karyawan puluhan juta.. bukan berarti saya berhenti merekruit orang malah habis itu saya banyak invest di SDM, karena memang itu yang dilakukan supaya bisnis saya tetap survive dan makin berkembang. Tapi, semua itu menjadikan saya belajar cara merekrut yang benar. Kalau pain tolerance-nya rendah, meskipun saya pengusaha, bisa-bisa usahanya jalan di tempat.
"Kalau berat jadi pengusaha, kenapa kamu memilih jadi pengusaha?", tanya seorang kawan ke saya
Ya, karena inilah jalan hidup. Sebuah panggilan. Dari SD, saya sudah terobsesi dengan dunia wirausaha ini. Inilah dunia dimana kita bisa berkreasi dan mewariskan suatu spirit yang langgeng. Dunia yang penuh tantangan dan dinamis, bukan rutinitas yang membuat otak terprogram secara kaku. Dunia yang memungkinkan saya belajar lebih banyak dan berbagi lebih banyak.
Ya, ini bukanlah dunia yang mudah. Yang justru karena itu, saya menyukainya. There is an old saying, "There is no glory for being easy".
Jadi PENGUSAHA adalah Membangun LEGACY makanya berat...
*nemu catatan tapi lupa punya siapa.
0 komentar:
Posting Komentar