Pada akhirnya, memang amanah-lah yang justru menjaga, mengawasi, dan mengontrol seseorang,. Ketika pembebanan amanah di lembaga, sebagai apapun ia, akan membuatnya kembali pada kesadaran bahwa dirinya tidak lagi semata2 hanya miliknya. Akan terbangun kesadaran bahwa ada komunitas di depannya, di belakangnya, disampingnya yang membersamainya. Lalu semangat pengontrolan itu mulai bekerja.
Menjadi seorang anak, anak didik, anak bimbing, yang dipimpin atau apapun namanya... adalah amanah yang bersifat individual dalam rangka pembentukan karakter pribadi. Seseorang membangun kesadaran ke dalam dirinya, terus menerus membuat perubahan, dan menciptakan karakter pribadi yang pada akhirnya tidak jauh berbeda dengan karakter komunitas di mana ia tinggal. Semakin cepat ia tanggap dengan perubahan yang digulirkan, maka perkembangan kualitas dirinya akan makin cepat. Akselerasi. Demikian terus hingga tercapai kualitas standar tertentu. Terus menerus begitu. Namun, percepatan yang tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar, hanya akan menciptakan pribadi-pribadi yang tampaknya kokoh tapi sebenarnya rapuh. Disana, pengontrolannya bersifat satu arah, ke dalam dirinya. Seseorang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Sedang menjadi orang tua, qiyadah (pemimpin), guru atau apapun namanya.... adalah amanah yang salah satunya menunjukkan kemampuan menjagai karakternya sendiri kemudian ditularkannya pada rumah tangga yang membuatnya harus terlibat. Dalam kapasitasnya menjadi pemimpin, seseorang harus mampu keluar dari dirinya untuk kemudian mengajak orang2 di sekitarnya lalu bersama-sama masuk melihat ke dalam dirinya dan pada akhirnya keluar lagi. Lalu, diharapkan tercipta bangunan peradaban baru yang lebih baik dari masing-masing pribadi itu sebagai batu batanya.
Selama pertumbuhannya, seorang anak akan menuntut kondisi terbaik orangtuanya sebagai teladan pertama baginya. Maka, selain dalam rangka memperbaiki dirinya sendiri, syarat mutlak seorang pemimpin adalah berani mengambil sikap teladan pada anak buahnya. Karena anak buahnya-lah yang akan mengontrol perilaku, sikap, tindakan, cara mengambil keputusan, dan pertimbangan2 strategis lainnya dari seorang pemimpin.
Pada banyak kisah, ternyata darah daging kita sendirilah yang lebih banyak berperan dan mempengaruhi hidup kita. Perasaaan bertanggung jawab dari seorang bapak muda, keinginan untuk menjadi teladan yang baik dari seorang ibu, harapan untuk memperbaiki garis hidup keturunan keluarga dan seterusnya, adalah sebagian alasan masuk akal kenapa seseorang secara perlahan (dan kadang tak disadarinya) mengubah kecenderungan-kecenderungan dasarnya dalam mengambil sikap, mengganti pola hidupnya agar lebih bernilai bagi keluarganya yang baru saja terbentuk. Alasan utamanya adalah anak-anak.
Coba renungkan, siapa yang paling bisa menerima seseorang selain bagian dari dirinya sendiri. Iyya,tepat!! mereka...anak2. Atau, justru anak2 itu pula-lah yang paling tidak bisa menerima dan atau yang akan menuntut orang tuanya lebih banyak dari pada orang-orang lainnya, lalu berhadapan sebagaimana bersikapnya seorang musuh.
Pertanyaannya adalah apakah hanya anak yang lahir dari ”rahim”nya saja yang mampu membuat kontrol atas diri seseorang? Kenyataannya, bersikap seperti ibu ato bapak dari anak orang lain ternyata tidak hanya sulit, bahkan hampir mustahil. Tapi itu mungkin.
Lalu, sampai sebatas mana seorang murid mempunyai kekuasaan untuk bisa ”mengatur” bio ritme gurunya, atau seorang bawahan mampu mempengaruhi prilaku pemimpinnya, bukan dalam berkeputusan dan atau berkebijakan ke dalam lembaga (atau sistem yang bekerja di antara mereka), tapi justru manakala bersikap ke luar, saat bergiat di kehidupan pribadi mereka.
Jawabannya tergantung sebesar apa penerimaan, pemahaman dan pengamalan konsep”guru dan murid” atau pun konsep ”pemimpin dan yang dipimpin” itu dalam tiap keterlibatan mereka menjadi idealnya hubungan ”bapak (atau ibu) dan anak”. Semakin keterlibatannya berkiblat pada hubungan tersebut maka makin mungkin fungsi pengontrolan sebagai fungsi penjagaan itu berkekuatan. Tentu saja ini konversi kepemilikan dan kepercayaan yang tidak mudah, tidak singkat. Perlu interaksi dua arah yang berkualitas. Nah, inilah yang susah, dan kadang justru mengawali kegagalan hubungan yang belum matang bertunas.
Indikasi kematangan sebuah hubungan tergantung prosentase ”keterikatan hati” pada masing2 pihak yang bersangkutan. Kualitas komunikasi yang baek menjadi demikian penting karena akan menopang seberapa jauh dan seberapa lama keterikatan itu tersimpul, dan itu sebanding dengan rasa percaya yang terbangun sesudahnya.
Hal tersebut akan terejawantahkan dalam kesadaran komunitas bahwa masing-masing mereka merasakan keberadaannya ada dan saling membutuhkan satu sama lain. Lalu, bisa dipastikan walau hanya seujung perasaan...kekuatan kontrol itu akan bekerja. “Setelah saya pelajari dari banyak biografi para pejuang,dan atau orang2 yang berkarakter pemimpin, adalah mereka yang BAPAKNYA mempunyai visi yang jelas dalam hidup. Karenanya mereka hidup dengan tujuan yang sudah tervisualisasi dari awal dan tidak hambar menentukan pilihan. Memang benar, lingkungan dimana seseorang tinggal akan sangat mempengaruhi tiap keputusan dan jalan hidup yang akan ditempuhnya, tapi Ketokohan Bapaknya-pada dirinya-lah yang kemudian lebih banyak dominan mengantarkannya melihat dunia sebelum dia mampu melihat dengan matanya sendiri.
Juga membantunya mendengar prinsip, sebelum dia mengkomitmenkan prinsip hidupnya sendiri dan Menyentuhkannya pada gagasan2 besar yang strategis, sebelum dirinya sendiri mampu menjadi ahli rekayasa sosial."
Menjadi seorang anak, anak didik, anak bimbing, yang dipimpin atau apapun namanya... adalah amanah yang bersifat individual dalam rangka pembentukan karakter pribadi. Seseorang membangun kesadaran ke dalam dirinya, terus menerus membuat perubahan, dan menciptakan karakter pribadi yang pada akhirnya tidak jauh berbeda dengan karakter komunitas di mana ia tinggal. Semakin cepat ia tanggap dengan perubahan yang digulirkan, maka perkembangan kualitas dirinya akan makin cepat. Akselerasi. Demikian terus hingga tercapai kualitas standar tertentu. Terus menerus begitu. Namun, percepatan yang tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar, hanya akan menciptakan pribadi-pribadi yang tampaknya kokoh tapi sebenarnya rapuh. Disana, pengontrolannya bersifat satu arah, ke dalam dirinya. Seseorang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Pada banyak kisah, ternyata darah daging kita sendirilah yang lebih banyak berperan dan mempengaruhi hidup kita. Perasaaan bertanggung jawab dari seorang bapak muda, keinginan untuk menjadi teladan yang baik dari seorang ibu, harapan untuk memperbaiki garis hidup keturunan keluarga dan seterusnya, adalah sebagian alasan masuk akal kenapa seseorang secara perlahan (dan kadang tak disadarinya) mengubah kecenderungan-kecenderungan dasarnya dalam mengambil sikap, mengganti pola hidupnya agar lebih bernilai bagi keluarganya yang baru saja terbentuk. Alasan utamanya adalah anak-anak.
Coba renungkan, siapa yang paling bisa menerima seseorang selain bagian dari dirinya sendiri. Iyya,tepat!! mereka...anak2. Atau, justru anak2 itu pula-lah yang paling tidak bisa menerima dan atau yang akan menuntut orang tuanya lebih banyak dari pada orang-orang lainnya, lalu berhadapan sebagaimana bersikapnya seorang musuh.
Pertanyaannya adalah apakah hanya anak yang lahir dari ”rahim”nya saja yang mampu membuat kontrol atas diri seseorang? Kenyataannya, bersikap seperti ibu ato bapak dari anak orang lain ternyata tidak hanya sulit, bahkan hampir mustahil. Tapi itu mungkin.
Lalu, sampai sebatas mana seorang murid mempunyai kekuasaan untuk bisa ”mengatur” bio ritme gurunya, atau seorang bawahan mampu mempengaruhi prilaku pemimpinnya, bukan dalam berkeputusan dan atau berkebijakan ke dalam lembaga (atau sistem yang bekerja di antara mereka), tapi justru manakala bersikap ke luar, saat bergiat di kehidupan pribadi mereka.
Jawabannya tergantung sebesar apa penerimaan, pemahaman dan pengamalan konsep”guru dan murid” atau pun konsep ”pemimpin dan yang dipimpin” itu dalam tiap keterlibatan mereka menjadi idealnya hubungan ”bapak (atau ibu) dan anak”. Semakin keterlibatannya berkiblat pada hubungan tersebut maka makin mungkin fungsi pengontrolan sebagai fungsi penjagaan itu berkekuatan. Tentu saja ini konversi kepemilikan dan kepercayaan yang tidak mudah, tidak singkat. Perlu interaksi dua arah yang berkualitas. Nah, inilah yang susah, dan kadang justru mengawali kegagalan hubungan yang belum matang bertunas.
Indikasi kematangan sebuah hubungan tergantung prosentase ”keterikatan hati” pada masing2 pihak yang bersangkutan. Kualitas komunikasi yang baek menjadi demikian penting karena akan menopang seberapa jauh dan seberapa lama keterikatan itu tersimpul, dan itu sebanding dengan rasa percaya yang terbangun sesudahnya.
Hal tersebut akan terejawantahkan dalam kesadaran komunitas bahwa masing-masing mereka merasakan keberadaannya ada dan saling membutuhkan satu sama lain. Lalu, bisa dipastikan walau hanya seujung perasaan...kekuatan kontrol itu akan bekerja. “Setelah saya pelajari dari banyak biografi para pejuang,dan atau orang2 yang berkarakter pemimpin, adalah mereka yang BAPAKNYA mempunyai visi yang jelas dalam hidup. Karenanya mereka hidup dengan tujuan yang sudah tervisualisasi dari awal dan tidak hambar menentukan pilihan. Memang benar, lingkungan dimana seseorang tinggal akan sangat mempengaruhi tiap keputusan dan jalan hidup yang akan ditempuhnya, tapi Ketokohan Bapaknya-pada dirinya-lah yang kemudian lebih banyak dominan mengantarkannya melihat dunia sebelum dia mampu melihat dengan matanya sendiri.
Juga membantunya mendengar prinsip, sebelum dia mengkomitmenkan prinsip hidupnya sendiri dan Menyentuhkannya pada gagasan2 besar yang strategis, sebelum dirinya sendiri mampu menjadi ahli rekayasa sosial."
memang benar.
BalasHapusIndikasi kematangan sebuah hubungan tergantung prosentase ”keterikatan hati”
salam kenal gan.
yang pasti aku selalu bisa menerima keadaan apapun utk kakak2ku dan orangtuaku
BalasHapusAt one site I had already read almost the same information, but anyway thanks to the author for work
BalasHapus