ADALAH seorang lelaki sufi yang tengah berjalan menuju kota Basrah. Sesampainya di pantai, terlihat tidak ada kapal yang berlabuh, kecuali kapal kecil satu yang merapat di pantai itu. la menghampiri dengan maksud ingin menumpang sampai ke Basrah. Di dalam kapal itu ada seorang laki-laki dan seorang jariyah (budak perempuan). Lelaki sufi itu menyatakan niatnya untuk menumpang.
“Di sini penuh, tidak ada tempat lagi,” sahut laki-laki dari dalam kapal.
Namun Jariyah itu mengusulkan agar tuannya berkenan menerimanya., Laki-laki itu pun membiarkan orang sufi masuk ke dalam perahunya. Mereka terus berlayar menuju kota Basrah. Di tengah pelayaran, tuan laki-laki meminta untuk disediakan makan siang, lalu Jariyah menyiapkan hidangan makan siangnya. Jariyah mengusulkan kepada tuannya untuk mengajak lelaki sufi itu makan bersamanya. Lalu tuannya pun mengajaknya, kemudian mereka makan bersama-sama.
“Hai Jariyah, bawalah minuman arak itu kepadaku!”, pinta tuannya. Setelah minum sampai mabuk, is berseru lagi, “Hai Jariyah, ambillah gitar dan nyanyikan lagu-lagumu!”
Jariyah pun memainkan gitar dan menyanyikan lagu sesuai yang dikehendaki tuannya. Saat asyik menikmati suara merdu Jariyah menyanyikan sebuah lagu, tiba-tiba dia mengalihkan pandangannya kepada orang sufi yang tengah duduk di dekatnya.
“Dapatkah kau menyanyi sebagus itu?” kata sang tuan.
“Aku punya yang lebih bagus dari nyanyian itu”, sahut lelaki sufi.
“Coba nyanyikanlah, aku ingin segera mendengar suaramu!” pintanya.
Mulailah lelaki sufi itu dengan. taawudz. Ucapnya, A’udzu billahi minasy syaithaanirrajim, (an-Nahl: 98), Idzasy syamsu kuwwirat waidzan nujumun kadarat, wa idzat jibaalu sugyirat (at-Takwir: 1-3), Waidzash shuhufu nusyirat (at-Takwir: 10) = Aku berlindung dari godaan syetan yang terkutuk, apabila mentari telah digulung cahayanya dan binatang-binatang bertaburan serta gunung-gunung dihamburkan jadi abu dan apabila amal-amal telah dibentangkan.”
“Di sini penuh, tidak ada tempat lagi,” sahut laki-laki dari dalam kapal.
Namun Jariyah itu mengusulkan agar tuannya berkenan menerimanya., Laki-laki itu pun membiarkan orang sufi masuk ke dalam perahunya. Mereka terus berlayar menuju kota Basrah. Di tengah pelayaran, tuan laki-laki meminta untuk disediakan makan siang, lalu Jariyah menyiapkan hidangan makan siangnya. Jariyah mengusulkan kepada tuannya untuk mengajak lelaki sufi itu makan bersamanya. Lalu tuannya pun mengajaknya, kemudian mereka makan bersama-sama.
“Hai Jariyah, bawalah minuman arak itu kepadaku!”, pinta tuannya. Setelah minum sampai mabuk, is berseru lagi, “Hai Jariyah, ambillah gitar dan nyanyikan lagu-lagumu!”
Jariyah pun memainkan gitar dan menyanyikan lagu sesuai yang dikehendaki tuannya. Saat asyik menikmati suara merdu Jariyah menyanyikan sebuah lagu, tiba-tiba dia mengalihkan pandangannya kepada orang sufi yang tengah duduk di dekatnya.
“Dapatkah kau menyanyi sebagus itu?” kata sang tuan.
“Aku punya yang lebih bagus dari nyanyian itu”, sahut lelaki sufi.
“Coba nyanyikanlah, aku ingin segera mendengar suaramu!” pintanya.
Mulailah lelaki sufi itu dengan. taawudz. Ucapnya, A’udzu billahi minasy syaithaanirrajim, (an-Nahl: 98), Idzasy syamsu kuwwirat waidzan nujumun kadarat, wa idzat jibaalu sugyirat (at-Takwir: 1-3), Waidzash shuhufu nusyirat (at-Takwir: 10) = Aku berlindung dari godaan syetan yang terkutuk, apabila mentari telah digulung cahayanya dan binatang-binatang bertaburan serta gunung-gunung dihamburkan jadi abu dan apabila amal-amal telah dibentangkan.”
Mendengar ucapan lelaki sufi itu, tuan laki-laki pun menangis, dan berseru, “Jariyah, sekarang engkau bebas dariku, kini engkau sudah kubebaskan karena Allah Swt.” la segera melemparkan minuman dan gitarnya ke laut, selanjutnya menghampiri lelaki sufi itu serta memeluknya dan bertanya, “Wahai kawanku, siapakah kamu sebenarnya?”
“Aku Abu Hasyim” jawab lelaki sufi.
“Wahai Abu Hasyim, mengertikah engkau jika aku bertaubat, apakah Allah menerima taubatku?” Tanya tuan itu.
“Innallaaha yuhibbut tawwabiina wayuhibbul mutathahhiriin (al-Baqarah: 222) = Sungguh Allah mengasihi orang-orang yang bertaubat dan mengasihi orang-orang yang bersuci,” jawab Abu Hasyim.
Setelah sampai di Basrah, tuan laki-laki itu hidup bersama Abu Hasyim sebagai kawan Muslim selama empat puluh tahun hingga wafatnya. Beberapa hari setelah is meninggal, Abu Hasyim bennimpi bertemu dengannya. la bertanya dalam mimpi itu.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?” “Aku tengah berjalan menuju ke surga.”
“Dengan apa engkau menuju ke surga”, tanya Abu Hasyim.
“Dengan ayat-ayat al-Quran yang engkau bacakan kepadaku,” jawabnya.
Kisah ini memberikan pelajar bagi kita. Bahwa ‘nyanyian’ yang layak kita ‘nyanyikan’ dari lubuk yang paling dalam bukanlah, syair-syair yang dinyanyikan para artis di televisi dengan video clip yang kadang-kadang menghanyutkan hati orang yang mendengarnya. Tetapi ‘nyanyian’ yang diharapkan mampu memberikan ketenangan hati dan pencerahan jiwa yang memang sudah keras seperti lelaki yang ada dalam kisah di atas bukanlah sembarangan nyanyian dengan syair-syair yang berbunga-bunga atau lirik-lirik yang menjadi cinta sebagi tema. ‘Nyanyian’ itu adalah firman-firman Allah yang tidak saja memberikan kesejukan dan ketenangan batin tetapi juga menuntun setiap orang yang mengamalkannya menuju pintu surga. Selama ini jika banyak orang yang terpedaya dengan nyanyian-nyanyian sehingga mereka mabuk dan lupa diri akibat nyanyian tersebut maka sudah selayaknya kita beralih kepada ‘kalam Allah’ yang ada di dalam al-Quran. Ia adalah ‘belaian’ di saat kita mengalami kegersangan, ia adalah ‘cahaya’ ketika kita mengalami kegelapan. Sehingga manusia dan jin bilang mereka bergabung untuk membuat seumpamanya, tidak ada yang sanggup untuk menyamainya Oleh karena itu, mari tetapkanlah hati ini untuk selalu membaca dan menghayati sekaligus mengamalkan al-Quran karena sesungguhnya itulah yang akan membawa kepada surga jannatunna’im.
0 komentar:
Posting Komentar