Apa yang dilakukan KPU memang merupakan sebuah pembelajaran, tidak hanya kepada partai politik, tetapi juga para kader partai yang mempunyai niat untuk duduk di legislatif serta masyarakat untuk peduli terhadap proses demokrasi di negara ini. Karena selama ini, banyak calon anggota legislatif yang tiba-tiba duduk menjadi anggota dewan, sementara ia sendiri tidak pernah bertemu dengan masyarakat pemilihnya. Ini artinya masyarakat telah memilih ‘kucing’ di dalam karung. Apalagi UU mengisyaratkan nomor urut yang lebih kecil menjadi sesuatu yang cukup penting. Artinya, walaupun ia tidak dikenal di daerah pemilihannya, tetapi nomor urutnya berada di nomor urut 1, boleh jadi ia akan menjadi anggota dewan berkat ‘bantuan’ calon legislatif di bawahnya.
Kini, walaupun masih tetap memberlakukan nomor urut, UU mengisyaratkan adanya kemungkinan bagi calon yang bernomor urut di bawahnya untuk duduk menjadi anggota dewan jika ia mencapai angka 30 persen. Artinya, jika nomor urut 1 tidak mencapai angka 30 persen, sementara di bawahnya mendapat dukungan lebih dari 30 persen maka nomor urut di bawahnya inilah yang akan mewakili partai politik tersebut untuk duduk di lembaga legislatif.
Secara substansi memang tidak terlalu banyak perbedaan antara UU yang lama dengan yang baru mengenai calon yang akan mewakili masing-masing partai peserta pemilu tersebut, karena masih menggunakan angka 30 persen, seandainya saja, di buka dengan pernyataan yang akan mewakili partai politiknya adalah calon yang mempunyai suara terbanyak maka nomor urut tentu tidak akan berlaku lagi.
Lamanya waktu kampanye memang bukan menjamin bahwa calon-calon anggota dewan tersebut akan melakukan sosialisasi di tengah-tengah masyarakat. Tetapi paling tidak, mereka yang sejak dini melakukan sosialisasi di daerah pemilihannya sudah pasti akan lebih dikenal di tengah-tengah masyarakat, daripada calon-calon yang hanya mengandalkan kampanye terbuka pada saat hari H Pemilu tersebut.
Banyak cara melakukan kampanye tersebut antara lain melakukan silaturahmi kepada masyarakat. Di mana para calon legislatiflah yang ‘menjemput bola’ dengan berusaha meyakinkan masyarakat untuk memilih dirinya. Cara ini memang cara yang banyak dilakukan para calon legislatif, tetapi biasanya setelah mereka terpilih, cara ini mereka tinggalkan. Akibatnya tentu ini merugikan dirinya sendiri, apalagi jika mereka selama ini berjanji, tetapi tidak satupun janji mereka ditepati.
Kecerdasan masyarakat dalam memilih para calon legislatifnya memang perlu diuji. Selama ini masyarakat mungkin hanya memilih partainya saja. Padahal, belum tentu partai yang ia cintai itu, menempatkan orang yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri. Maka sudah saatnya masyarakat tidak hanya memilih partai tetapi juga harus memilih orang yang akan menjadi representatif (perwakilan) mereka.
Kalau hal ini dilakukan, pasti anggota-anggota dewan yang terpilih nantinya pada 2009 adalah anggota yang benar-benar diharapkan mampu menjadi ‘penyambung lidah’ masyarakat pemilihnya. Bukan anggota dewan yang hanya memikirkan partai dan dirinya sendiri mengingat selama ini mereka dipilih hanya gara-gara mereka ditempatkan pada nomor urut yang paling kecil dan masyarakat hanya memilih partai tanpa memikirkan siapa calon yang diusung partai tersebut. Oleh karena itu, masa kampanye yang cukup lama ini haruslah menjadi acuan bagi masyarakat untuk melihat siapa calon yang akan dipilihnya nanti.
0 komentar:
Posting Komentar